Suku yang Hilang – Jepang
Israel Datang ke Jepang
Oleh: Arimasa Kubo
Upacara tradisional di Jepang bisa jadi merupakan jejak bahwa Yahudi dan 10 Suku Hilang Israel datang ke Jepang kuno.
Festival di Jepang yang Mengilustrasikan Kisah Ishaq
Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat sebuah kuil besar Shinto bernama “Suwa-Taisha” (Shinto adalah agama tradisional khas Jepang). Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama “Ontohsai”. Festival ini mengilustrasikan kisah Ishaq dalam bab 22 Genesis, Bibel, yaitu, kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival “Ontohsai” diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di “Suwa-Taisha”.
Di sebelah kuil “Suwa-Taisha”, ada sebuah gunung bernama Gunung Moriya (dalam bahasa Jepang disebut “Moriya-san”). Penduduk di area Suwa memanggil dewa Gunung Moriya dengan sebutan “Moriya no kami”, yang berarti “dewa Moriya”. Pada festival tersebut, seorang anak laki-laki diikatkan dengan tali pada sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas tikar bambu. Seorang pendeta Shinto menghampiri sang anak sambil menyiapkan sebilah pisau, namun kemudian seorang pembawa pesan/messenger (pendeta lainnya) datang, dan anak laki-laki tersebut dibebaskan. Ini mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah malaikat datang pada Ibrahim.
Pada festival ini, pengorbanan binatang juga dilakukan. Sebanyak 75 ekor rusa dikorbankan, tapi di antara jumlah tersebut diyakini bahwa ada seekor rusa yang kupingnya cacat. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan oleh tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi Shinto.
Penduduk menyebut festival ini sebagai “festival untuk dewa Misakuchi”. “Misakuchi” mungkin berasal dari “mi-isaku-chi”. “Mi” berarti “besar”, “isaku” mungkin saja “Ishaq” (dalam bahasa Hebrew adalah “Yitzhak”), dan “chi” adalah sesuatu (semacam partikel-pen) yang dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk Suwa menjadikan Ishaq sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para penyembah berhala.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut tak lagi dipraktekkan, tapi kita masih bisa melihat pilar kayu yang disebut “oniye-basira” yang berarti “pilar pengorbanan” (sacrifice-pillar).
Kini penduduk menggunakan binatang tiruan (stuffed animal/binatang sumpalan) sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan pengorbanan. Bagi rakyat di zaman Meiji (sekitar 100 tahun lalu), mengikat seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang dianggap sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan. Tapi festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki tersebut dipertahankan hingga permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae, seorang terpelajar Jepang dan pencatat perjalanan yang hidup di zaman Edo (sekitar 200 tahun lalu), menuliskan catatan perjalanannya dan mencatat apa yang ia lihat di Suwa. Catatan ini memperlihatkan keterangan detail mengenai “Ontohsai”. Catatan ini mengatakan bahwa upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut, serta pengorbanan binatang, masih berlangsung pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini tersimpan di museum dekat Suwa-Taisha.
Festival “Ontohsai” dipertahankan oleh keluarga Moriya sejak zaman dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa “Moriya-no-kami” (dewa Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka berpikir bahwa “Gunung Moriya” adalah tempat suci mereka. Nama “Moriya” mungkin berasal dari “Moriah” (dalam bahasa Hebrew adalah “Moriyyah”) dalam Genesis 22:2.
Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi. Festival Ontohsai pasti telah ada sejak zaman dahulu.
Saya tidak mengetahui negara lain, selain Jepang, yang memiliki sebuah festival yang mengilustrasikan kisah Ishaq. Saya yakin tradisi ini menjadi bukti kuat bahwa Israel pernah datang ke Jepang di zaman dahulu.
Hiasan pada bagian atas Imperial House of Japan sama dengan yang ditemukan pada Gerbang Yerusalem
Hiasan yang terdapat pada bagian atas Imperial House of Japan adalah berupa lambang bundar (round mark) berbentuk bunga dengan 16 daun bunga (foto kanan). Bentuknya di masa kini terlihat seperti bunga serunai/chrysanthemum (mum), tapi para ilmuwan mengatakan bahwa di zaman kuno, bentuk tersebut lebih terlihat seperti bunga matahari. Ini benar-benar bentuk yang sama dengan lambang pada gerbang Herod di Yerusalem. Hiasan pada gerbang Herod juga memiliki 16 daun bunga (foto kiri).
Simbol Bintang David juga digunakan di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan
Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Anda juga dapat melihat Bintang David kaum Yahudi terukir di setiap lampu, dekat bagian puncaknya.
Di prefektur Kyoto, ada sebuah kuil bernama “Manai-Jinja” yang merupakan Kuil Ise-jingu asli. Hiasan di “Manai-Jinja” juga adalah Bintang David. Jadi, ini telah digunakan sejak zaman dahulu kala.
Saya pernah mendengar bahwa Bintang David ditemukan di sebuah sinagog Yahudi pada abad ke-3 di Eropa.
Para pemimpin keagamaan Jepang, “Yamabushi”, meletakkan sebuah kotak hitam pada dahi mereka, serupa dengan kaum Yahudi yang meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Hebrew-pen) di dahi.
“Yamabushi” adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Kini, mereka dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang. Namun, Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian yang dikenakan “Yamabushi” pada dasarnya berwarna putih. Di dahinya, mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut “tokin”, yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka benar-benar menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi dengan menggunakan tali hitam. Ukuran “tokin” ini hampir sama dengan ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi “tokin” berbentuk bundar dan terlihat seperti bunga.
Sepertinya, phylactery Yahudi yang diletakkan di dahi semula berasal dari “pelat” dahi yang diletakkan pada dahi pendeta tertinggi, Aaron, dengan menggunakan tali (Exodus 28:36-38). Menurut cerita/dongeng, ukurannya sekitar 4 cm (1,6 inchi), dan beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ini berbentuk bunga. Jika demikian, maka pelat tersebut sangat mirip dengan bentuk “tokin” di Jepang yang dikenakan oleh “Yamabushi”.
Setahu saya, hanya ada dua negara di dunia ini yang mengenakan sebuah boks di dahi, yaitu Israel dan Jepang,
Selain itu, “Yamabushi” mengenakan kerang laut berukuran besar sebagai tanduk. Ini sangat mirip dengan kaum Yahudi yang meniup shofar, atau tanduk biri-biri jantan. Ketika ditiup, suara yang keluar dari tanduk “Yamabushi” benar-benar seperti suara shofar. Di Jepang tak ada biri-biri, “Yamabushi” harus menggunakan tanduk dari kerang laut, bukan tanduk biri-biri jantan.
“Yamabushi” adalah orang-orang yang menganggap pegunungan sebagai tempat suci mereka untuk latihan keagamaan. Orang-orang Israel juga menganggap pegunungan sebagai tempat suci. Ten Commandments Torah diturunkan di Gunung Sinai. Yerusalem adalah kota yang berada di atas gunung. Yesus (Yeshua) terbiasa mendaki gunung tersebut untuk berdoa di sana. Perubahan rupa Yesus juga terjadi di atas gunung.
Di Jepang terdapat legenda mengenai “tengu”, yang tinggal di sebuah gunung dan memiliki bentuk tubuh yang sama dengan “Yamabushi”. Ia memiliki hidung yang jelas serta kemampuan supernatural. “Ninja”, agen atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk tuannya, sering mendatangi “tengu” di gunung untuk mendapatkan kemampuan supernatural darinya. Setelah memberikan kekuatan, “Tengu” memberi “Ninja” sebuah “tora-no-maki” (gulungan “tora”). “Gulungan tora” ini dianggap sebagai buku/kitab terpenting yang berguna dalam setiap masalah. Kami, orang Jepang, kadang-kadang menggunakan buku ini dalam kehidupan sehari-hari kami, bahkan hingga hari ini.
Kami tidak mengetahui bahwa gulungan Torah Yahudi yang asli pernah ditemukan di lokasi-lokasi bersejarah di Jepang. Saya hanya dapat menduga bahwa “gulungan tora” menggunakan kitab suci bernama “Torah”, yang digunakan oleh kaum Yahudi hingga hari ini.
“Omikoshi” di Jepang menyerupai Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian)
Dalam Bibel, Kejadian Pertama chapter 15, tertulis bahwa David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem.
“David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. …Lalu David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus, begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga mengenakan ephod dari linan. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa.” (15: 25-28)
Ketika membaca paragraf tersebut, saya berpikir; “Betapa miripnya ini dengan pemandangan ketika orang-orang Jepang mengangkut ‘Omikoshi’ kami saat festival? Bentuk ‘Omikoshi’ Jepang benar-benar terlihat seperti tabut perjanjian. Orang-orang Jepang bernyanyi dan menari di depannya sambil bersorak-sorai, dan memainkan instrumen musik. Semua hal ini sangat mirip dengan kebiasaan Israel kuno.”
Orang-orang Jepang mengangkut “Omikoshi” di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya 2 tiang. Begitu pula halnya dengan Israel kuno:
“Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN.” (Kejadian 1 15:15)
Tabut perjanjian Israel memiliki 2 tiang (Eksodus 25: 10-15). Beberapa model tabut yang diperbaiki, seperti bayangan kita, menggunakan 2 tiang di bagian atas tabut. Namun Bibel mengatakan bahwa tiang-tiang tersebut diikatkan pada tabut oleh 4 cincin “pada keempat kakinya” (Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut pasti dilekatkan pada dasar tabut. Ini serupa dengan “Omikoshi” Jepang.
Tabut Israel memiliki 2 patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki surga-pen) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim adalah sejenis malaikat, mahluk surga yang misterius. Mereka memiliki sayap seperti burung. “Omikoshi Jepang” juga memiliki burung emas, yang disebut “Ho-oh”, pada bagian puncaknya, yang merupakan burung khayalan dan makhluk surga yang misterius. Secara keseluruhan, tabut Israel dilapisi emas. “Omikoshi” Jepang juga hampir seluruhnya dilapisi emas. Ukuran “Omikoshi” hampir sama dengan tabut Israel. “Omikoshi” Jepang mungkin merupakan sisa-sisa tabut Israel kuno.
Banyak hal yang berkenaan dengan tabut Israel menyerupai adat-istiadat Jepang
Raja David dan orang-orang Israel bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan tabut. Kami, orang Jepang, bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan “Omikoshi”.
Beberapa tahun lalu, saya menonton sebuah film buatan Amerika berjudul “King David” yang memuat kisah terpercaya mengenai kehidupan Raja David. Dalam film itu, David membawa tabut ke Yerusalem sambil menari di depan tabut tersebut. Saya berpikir: “Jika pemandangan di Yerusalem itu diganti dengan pemandangan Jepang, maka adegan ini akan sama persis dengan apa yang saya lihat di sini, dalam festival-festival di Jepang.”
Atmosfir musiknya pun menyerupai musik Jepang. Tarian David benar-benar terlihat seperti tarian tradisional Jepang.
Dalam festival “Gion-jinja” di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut “Omikoshi” lalu masuk ke dalam air, dan menyeberangi sungai. Saya hanya dapat menduga bahwa ini berasal dari ingatan Israel Kuno yang mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan eksodus dari Mesir.
Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang yang terpilih sebagai pengangkut “Omikoshi” tinggal bersama di sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka mengangkut “Omikoshi”. Ini untuk mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum mengangkut “Omikoshi”, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri. Ini sama dengan kebiasaan Israel kuno:
“Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel.” (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; “David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun perempuan” (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap orang. Itu adalah sesuatu yang menyenangkan saat saya masih kanak-kanak.
Jubah pendeta Jepang menyerupai jubah pendeta Israel
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linan putih”.
Pada Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna, para pendeta umum mengenakan linan putih. Para pendeta mengenakan pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci. Di Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang dilakukan Israel. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna paling suci.
Kaisar Jepang, setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta, datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua 5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabbi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya:
“Jubah linan yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki bentuk yang sama dengan jubah linan putih pada para pendeta Israel kuno.”
Jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm (sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan:
“Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”
Fringe (tassel/jumbai) merupakan sebuah tanda bahwa seseorang adalah kaum Israel. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga tertulis bahwa para Pharisee (anggota sekte Yahudi kuno-pen) “memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20, Perjanjian Baru: Translation in the Language of the People, diterjemahkan oleh Charles B. Williams). Pakaian Israel kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa, memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.
Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David:
“David juga mengenakan ephod dari linan.” (Kejadian 1 15:27)
Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya, mengenakan ephod dari kain linan putih yang sederhana (Samuel 1 22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen, pendeta Yahudi.
Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.
Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan “harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu “harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.
Seorang wanita Jepang beragama Kristen yang saya kenal, sebelumnya menganggap bahwa “harainusa” ini serupa dengan kebiasaan pagan. Namun ia kemudian pergi ke Amerika Serikat dan memperoleh kesempatan menghadiri sebuah pertemuan Sukkot. Saat ia melihat seorang Yahudi yang sedang melambaikan seikat hasil panen, ia berkata dalam hatinya, “Wah, ini sama dengan yang dilakukan oleh pendeta Jepang! Di sinilah rumah untuk orang Jepang berada.”
Struktur kuil Shinto Jepang sama dengan tempat ibadat (God’s Tabernacle) Israel Kuno
Bagian dalam tempat ibadat Israel kuno terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama adalah Holy Place, dan yang kedua adalah Holy of Holies. Begitu pun halnya dengan kuil Shinto Jepang, terbagi menjadi 2 bagian.
Fungsi-fungsi yang terdapat pada kuil Jepang serupa dengan tempat ibadat Israel. Orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place yang ada di kuil. Mereka tidak dapat memasuki Holy Place. Hanya pendeta Shinto yang boleh masuk. Pendeta Shinto memasuki Holy of Holies hanya pada saat-saat tertentu. Ini sama halnya dengan tempat ibadat Israel.
Holy of Holies di kuil Shinto Jepang terletak di sebelah barat, persis seperti Holy of Holies pada tempat ibadat Israel. Holy of Holies Shinto juga berada satu tingkat lebih tinggi daripada Holy Place, di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga. Para ilmuwan mengatakan bahwa, dalam kuil Israel yang dibangun oleh Solomon, Holy of Holies juga berada pada tingkat yang lebih tinggi, dan di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga selebar 2,7 meter (9 kaki).
Di bagian depan kuil Jepang terdapat 2 patung singa, disebut “komainu”, yang berdiri di kedua sisi jalan. Kedua patung tersebut bukanlah berhala, tapi penjaga kuil. Hal ini pun merupakan salah satu kebiasaan Israel kuno. Di kuil Tuhan Israel dan istana Solomon, terdapat patung-patung atau relief-relief singa (Raja-raja 1 7:36, 10:19).
Dalam sejarah awal Jepang, tak pernah ada penggunaan singa. Tapi patung singa tersebut telah diletakkan di kuil-kuil Jepang sejak zaman kuno. Hal ini dibuktikan oleh para ilmuwan bahwa patung singa yang ada di bagian depan kuil-kuil Jepang berasal dari Timur Tengah.
Dekat pintu masuk kuil Jepang, terdapat “temizuya”, yaitu tempat bagi para penyembah untuk mencuci tangan dan mulut. Ini sama dengan yang ditemukan pada sinagog Yahudi. Tempat ibadat dan kuil Israel kuno juga memiliki laver, untuk mencuci dan bersuci, dekat pintu masuk.
Di bagian depan kuil Jepang, terdapat gerbang, yang disebut “torii”. Gerbang dengan model seperti ini tidak ada di China atau Korea, ini khas Jepang. Gerbang “torii” terdiri dari 2 pilar vertikal dan sebuah palang yang menghubungkan bagian atas pilar. Tapi bentuk yang paling kuno hanya terdiri dari 2 pilar dan sebuah tali yang menghubungkan pilar. Ketika seorang pendeta Shinto menunduk pada gerbang, ia menunduk kepada 2 pilar tersebut secara terpisah. Maka diasumsikan bahwa gerbang “torii” tersebut pada awalnya hanya terdiri dari dua pilar.
Pada kuil Israel, terdapat 2 pilar yang digunakan sebagai gerbang (Raja-raja 1 7:21). Dan dalam bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel kuno, kata gerbang adalah “taraa”. Kata ini mungkin berubah sedikit dan menjadi kata Jepang, “torii”. Beberapa “torii”, terutama pada kuil tua, bercat merah. Saya menduga bahwa ini merupakan gambaran mengenai 2 pos pintu, termasuk kayu horizontalnya, yang terkena darah anak biri-biri pada malam sebelum eksodus Israel dari Mesir.
Dalam agama Shinto Jepang, ada sebuah kebiasaan melingkupi/mengelilingi tempat suci dengan sebuah tali yang disebut “shimenawa”, yang mana tali ini memiliki sarung (terbuat dari kertas putih) yang dimasukkan sepanjang tali. Tali “shimenawa” ini dipasang sebagai pembatas. Bibel mengatakan bahwa saat Musa memberikan en Commandment dari Tuhan, di Gunung Sinai, ia “memasang pembatas” (Eksodus 19:12) di sekeliling gunung supaya kaum Israel tidak mendekatinya. Meski saya tidak tahu apa yang digunakan sebagai “pembatas” tersebut, pasti ada tali atau yang lain yang dipasang sebagai pembatas. Jika demikian, maka tali “shimenawa” Jepang mungkin merupakan satu kebiasaan yang berasal dari zaman Musa.
Satu-satunya perbedaan besar antara kuil Jepang dan kuil Israel kuno adalah bahwa kuil Jepang (Shinto) tidak memiliki altar pembakaran untuk pengorbanan hewan. Sebelumnya saya penasaran mengapa agama Shinto tak memiliki kebiasaan mengorbankan hewan, jika benar bahwa Shinto berasal dari agama Israel kuno. Tapi kemudian saya menemukan jawabannya dalam Deuteronomy chapter 12. Musa memerintahkan kaumnya untuk tidak melakukan pengorbanan hewan di tempat lain selain tempat khusus di Kanaan (12:10-14). Jadi, jika Israel datang ke Jepang kuno, mereka tidak diperbolehkan melakukan pengobanan hewan.
Banyak kebiasaan Jepang yang menyerupai kebiasaan Israel kuno
Saat orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place di kuil Shinto, mereka pertama-tama membunyikan bel emas yang tergantung di pusat pintu masuk. Ini adalah kebiasaan Israel kuno. Pendeta tinggi, Aaron, meletakkan “bel emas” di keliman (batas pakaian dimana pinggirnya dilipat dan dijahit) jubahnya. Sehingga dengan demikian suara bel dapat terdengar dan sang pendeta takkan mati ketika melakukan pelayanan di sana (Eksodus 28:33-35).
Orang-orang Jepang bertepuk tangan 2 kali ketika beribadat di depan Holy Place. Ini, di masa Israel kuno, merupakan kebiasaan yang memiliki arti bahwa “I keep promises” (saya berjanji). Dalam Injil, Anda dapat menemukan kata yang diterjemahkan sebagai “pledge” (janji). Pengertian aslinya dalam bahasa Hebrew adalah “clap his hand” (menepukkan kedua tangannya/bertepuk tangan) (Ezekiel 17:18, Amsal Sulaiman 6:1). Tampaknya orang-orang Israel kuno selalu melakukan tepuk tangan ketika berjanji atau ketika melakukan sesuatu yang penting.
Orang-orang Jepang menunduk di depan kuil sebelum dan sesudah bertepuk tangan dan beribadat. Mereka juga menunduk sebagai salam penghormatan ketika bertemu. Menunduk juga merupakan kebiasaan Israel kuno. Jacob menunduk saat ia mendekati Esau (Genesis 33:3). Saya telah memperhatikan bahwa orang-orang Yahudi modern tidak memiliki kebiasaan menunduk. Namun, mereka menunduk ketika membacakan doa. Orang-orang Ethiopia modern memiliki kebiasaan menunduk, mungkin disebabkan oleh Yahudi kuno yang bermigrasi ke Ethiopia di zaman dahulu. Cara orang Ethiopia menunduk serupa dengan cara orang Jepang.
Kami, orang Jepang, memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Ketika saya menonton drama TV dari masa Samurai, saya melihat seorang wanita melempar garam ke tempat dimana seorang pria yang ia benci beranjak pergi. Kebiasaan ini sama dengan Israel kuno. Setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Judge 9:45). Kami, orang Jepang, dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Saya mendengar bahwa saat orang Yahudi pindah ke rumah baru, ia menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Lagi-lagi, hal ini sama dengan yang ada di Jepang. Di restoran khas Jepang, sang pemilik biasanya meletakkan garam di dekat pintu masuk. Yahudi juga menggunakan garam untuk daging Kosher. Semua daging Kosher dimurnikan dengan garam dan semua makanan diawali dengan roti dan garam.
Orang Jepang meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam-pen) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Lagi-lagi, konsep yang sama dengan yang ada pada Israel.
Pegulat Jepang, “sumo”, menaburi ring sumo dengan garam sebelum mereka bertarung. Orang-orang Amerika dan Eropa penasaran mengapa mereka menaburkan garam. Namun Rabbi Tokayer menulis bahwa kaum Yahudi dapat cepat memahami maknanya. Orang Jepang mempersembahkan garam setiap kali mereka melaksanakan persembahan keagamaan. Ini sama dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Israel, karena Bibel mengatakan: “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Orang Jepang zaman kuno memiliki kebiasaan memasukkan garam saat mandi pertama bayi. Orang Israel kuno membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam dan/atau air merupakan kebiasaan umum pada orang Jepang dan Israel.
Dalam Injil berbahasa Hebrew, kata “clean” (bersih) atau “unclean” (tidak bersih) sering muncul. Orang Amerika atau Eropa tidak familiar dengan konsep ini. Tapi orang Jepang dapat dengan mudah memahaminya, karena ini merupakan konsep penting dalam Shinto untuk menghargai kebersihan dan menghindari ketidakbersihan. Lagi-lagi, mungkin saja konsep ini berasal dari Israel kuno.
Dalam agama Shinto Jepang tidak ada berhala, sama halnya seperti dalam agama Israel
Kuil Budha memiliki berhala yang diukir dalam bentuk Budha dan dewa lainnya. Tapi dalam kuil Shinto Jepang tidak ada berhala. Di pusat Holy of Holies kuil Shinto, terdapat sebuah cermin, pedang, atau anting-anting. Namun para pemeluk Shinto tidak menganggap benda-benda tersebut sebagai dewa mereka. Dalam agama Shinto, dewa dianggap tidak terlihat. Cermin, pedang, dan anting-anting tersebut, bukanlah berhala, tapi hanya sebagai objek untuk menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat suci dimana dewa, yang tak terlihat, turun.
Dalam tabut perjanjian Israel kuno, terdapat lembaran-lembaran dari batu (tablet of stone) yang memuat Ten Commandments, botol berisi manna (makanan surga/makanan yang diturunkan Allah swt-pen), dan tongkat Aaron. Benda-benda ini bukan berhala, tapi hanya objek untuk menunjukkan bahwa itu adalah tempat suci dimana Tuhan, yang tak terlihat, turun. Kita bisa mengatakan hal yang sama berkaitan dengan keberadaan benda-benda tersebut dalam kuil Jepang.
Orang Jepang kuno memiliki kepercayaan pada Yahweh!?
Terdapat satu perbedaan besar, yaitu, agama Shinto mempercayai banyak dewa, sedangkan agama Israel (Yahudi) hanya mempercayai satu Tuhan.
Namun, berbeda dari Yudaisme modern, agama orang Israel kuno (khususnya 10 suku Israel yang hilang, Ten Lost Tribe of Israel) cenderung menyembah berhala dan memiliki kepercayaan politeistik (mempercayai banyak tuhan). Mereka tidak hanya mempercayai satu tuhan, Yahweh, tapi juga Baal, Asytaroth, Molech, dan tuhan pagan lainnya. Praktis agama Israel kuno bukan agama monoteistik. Kepercayaan politeistik Shinto tampaknya berasal dari kecenderungan Israel kuno yang politeis. Para agamawan Shinto mengatakan bahwa dewa agama Shinto, “Susanoh”, dalam beberapa aspek mirip dengan Baal, dan dewa perempuan agama Shinto, “Amaterasu”, mirip dengan Aystaroth.
Hingga 40 dekade yang lalu, di Gunung Inomure (prefektur Ooita), masyarakat selalu mengadakan upacara untuk meminta hujan. Mereka mengumpulkan kayu-kayu yang membentuk Bintang David untuk membuat fondasi, kemudian di atasnya dibangun sebuah menara dari cabang-cabang pohon, lalu di puncak menara diletakkan tiang bambu yang diikat dengan kulit ular. Mereka membakar menara tersebut dan berdoa meminta hujan. Ini mengingatkan kita pada cerita mengenai Israel kuno yang sering membakar kemenyan pada ular perunggu (yang dibuat oleh Musa) di sebuah tiang hingga pemerintahan King Hezekiah (Raja-raja 2 18:4).
Meskipun Shinto merupakan agama politeis, saya pikir ada kemungkinan bahwa Shinto kuno juga pernah memiliki kepercayaan pada Yahweh.
Dewa Shinto yang pertama kali lahir, di antara dewa-dewa lainnya, disebut “Amenominakanushi-no-kami”. Dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama kali muncul, tinggal di tengah-tengah alam semesta, tidak memiliki bentuk, tidak mati, penguasa (yang tak terlihat) alam semesta, dan tuhan yang mutlak, mirip dengan tuhan dalam Bibel yaitu sebagai Penguasa alam semesta.
Para arkeolog mengatakan bahwa agama-agama Babilon dan Mesir pada awalnya mempercayai satu dewa/tuhan yang disebut “the god of sky”, yang mana sepertinya memiliki keterkaitan dengan “God of heaven” versi Bibel. Kemudian, agama-agama mereka mengalami degradasi (degraded) menjadi politeisme. Saya pikir kita bisa mengatakan bahwa hal ini juga terjadi pada agama Shinto. Saya menduga agama Shinto kuno memiliki kepercayaan pada Tuhan Yahweh, tapi kemudian memburuk (degenerated) menjadi politeisme. Saya percaya bahwa orang Jepang seharusnya kembali mempercayai tuhan (yang esa) yang diajarkan Bibel.
Seorang teman saya yang beragama Kristen, Tsuji, suatu kali pernah menceritakan pada saya sebuah kisah. Suatu hari temannya, seorang pemeluk Shinto yang taat, datang padanya. Si pemeluk Shinto ini membawa Bibel dan berkata pada Tsuji dengan penuh semangat:
“Saya membaca Torah. Saya sangat terkejut saat mengetahui upacara keagamaan Israel kuno. Bentuknya sama dengan Shinto! Bentuk festivalnya, bentuk kuilnya, cara menghargai kebersihan, semuanya sama dengan Shinto!” Lalu Tsuji berkata padanya:
“Ya, saya juga telah mengetahuinya. Jika sudah tahu, mengapa kau tidak mempercayai tuhan yang diajarkan Bibel? Saya percaya bahwa ini adalah jalan untuk membangun dan mendapatkan kembali agama Shinto sejati yang kau yakini.” Setelah mendengar ucapan ini, untuk beberapa saat, si pemeluk Shinto terkejut sehingga tak bisa mengatakan sepatah kata.
Ucapan Tsuji sama dengan perasaan yang saya miliki terhadap semua pemeluk Shinto di Jepang. Saya berdoa semoga semua orang Jepang kembali mempercayai Tuhan Bibel. Karena Dia juga adalah Bapak bangsa Jepang.
Festival-festival di Jepang mirip dengan festival-festival Israel kuno
Di masa kini, kami, orang Jepang, merayakan tahun baru pada 1 Januari, tapi menurut sejarah kami menggunakan kalender komariyah/bulan (lunar calender), dimana 15 Januari merupakan tanggal resmi untuk perayaan tahun baru. Saat perayaan, orang Jepang memiliki kebiasaan memakan “mochi” (rice cakes/kue nasi) selama 7 hari berturut-turut. Ini serupa dengan kebiasaan Yahudi, karena Bibel menyatakan:
“Dan hari ke-15 di bulan yang sama (bulan ke-1) adalah Feast of Unleavened Bread to the Lord (Pesta Roti -yang Tak Diadon- untuk Tuhan-pen); 7 hari kau harus memakan roti yang tak diadon.” (Leviticus 23:6)
Resep “roti tak diadon” (unleavened bread) ini sama dengan “mochi” Jepang, karena jika Anda menggunakan nasi, bukan tepung terigu, sebagai bahannya, maka akan menjadi “mochi” Jepang. Kata dalam Hebrew untuk “unleavened bread” adalah “matsah”. Saya tidak percaya bahwa, secara kebetulan, dua kata ini (“mochi” dan “matsah”) terdengar sama.
Selain itu, orang Jepang juga memakan bubur dengan 7 jenis herbal (jamu/ramuan bumbu/tumbuhan bumbu-pen) pahit selama perayaan. Dalam sejarah, orang-orang memakan herbal pada 15 Januari. Israel kuno juga makan “dengan herbal pahit” pada tanggal 15 bulan pertama (Eksodus 12:8).
Di Jepang, kita memiliki festival-festival “Gion” yang diadakan di banyak lokasi selama musim panas. Festival yang terpenting adalah yang diadakan di kuil Shinto “Yasaka-jinja” di Kyoto. Festival di Kyoto ini berlanjut sepanjang Juli, setiap tahun. Tapi, bagian terpenting dalam festival ini diadakan dari tanggal 17 sampai 25 Juli (kami, orang Jepang, menyebutnya “bulan ketujuh”). Anggal 1 dan 10 Juli juga merupakan hari yang penting. Ini sudah menjadi tradisi sejak zaman kuno. Tapi, tanggal 17 di bulan ketujuh adalah hari dimana bahtera Nuh singgah di Ararat:
“Kemudian bahtera tersebut beristirahat, di bulan ketujuh, hari ketujuh belas, di pegunungan Ararat.” (Genesis 8:4)
Kita bisa menduga bahwa Israel kuno mengadakan pesta thanksgiving di hari tersebut. Tapi setelah Musa datang, diganti dengan Feast of Booths (festival hasil panen) yang diadakan pada tanggal 1 dan 10 bulan ke-7, dan selama 8 hari sejak tanggal 15 bulan ke-7 (Bilangan 29:1, 7, 12, 35).
Festival “Gion” di Kyoto dimulai dengan harapan bahwa tak ada wabah/hama yang menimpa penduduk. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh Raja Solomon, dengan harapan tak ada wabah/hama di negaranya, pesta diadakan selama 8 hari berturut-turut (termasuk hari pertemuan terakhir) mulai tanggal 15 bulan ke-7 (Kejadian 2 7:8-10). Sekitar 120 tahun lalu, seorang pengusaha dari Skotlandia, N. Mcleod, datang ke Jepang dan meneliti kebiasaan yang ada di Jepang. Ia menulis sebuah buku berjudul “Epitome of Japanese Ancient History” (Ringkasan Sejarah Kuno Jepang). Dalam buku tersebut, ia menulis bahwa festival “Gion” di Kyoto sangat mirip dengan festival-festival Yahudi. Rabbi Tokayer memberikan komentar yang serupa. Ia mengatakan bahwa nama “Gion” mengingatkannya pada “Zion” yang merupakan nama lain untuk Yerusalem. Faktanya, Kyoto dulu disebut “Heian-kyo” yang berarti “peace” (damai). Yerusalem dalam bahasa Hebrew juga memiliki arti “peace”. “Heian-kyo” mungkin adalah bahasa Jepang untuk “Yerusalem”.
Dalam festival “Gion” di Kyoto, orang-orang memulai festival dengan teriakan “en-yara-yah”. Kami, orang Jepang, tidak mengerti arti dari kata Jepang ini. Namun, Eiji Kawamorita, seorang ilmuwan dan pastor Kristen asal Jepang yang menguasai bahasa Hebrew, menulis dalam bukunya bahwa kata ini berasal dari ekspresi Hebrew, “eni ahalel yah”, yang berarti “I praise Yahweh (the Lord)” (saya memuji Yahweh (Tuhan) / segala puji bagi Yahweh (Tuhan)).
Beberapa kata Jepang kuno berasal dari bahasa Hebrew
Joseph Eidelberg, seorang Yahudi yang pernah datang ke Jepang dan tinggal selama bertahun-tahun di sebuah kuil Shinto Jepang, menulis buku berjudul “The Japanese and the Ten Lost Tribes of Israel”. Ia menulis bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Jepang yang berasal dari Hebrew kuno.
Sebagai contoh, kami, orang Jepang, menggunakan “hazukashime” untuk mempermalukan atau menghina. Dalam Hebrew, kata yang digunakan adalah “hadak hashem” (tread down the name / menginjak-injak nama seseorang, lihat Job 40:12). Makna dan pelafalan kedua kata tersebut hampir sama.
Kami menggunakan “anta” untuk mengatakan “you” (kau/kamu), sama dengan bahasa Hebrew. Raja-raja Jepang kuno dipanggil dengan kata “mikoto”, yang barangkali berasal dari kata Hebrew, “malhuto”, yang berarti “his kingdom” (kerajaannya). Kami menyebut Kaisar Jepang “mikado”. Kata ini mirip dengan kata Hebrew, “migadol”, yang berarti “the noble” (bangsawan/mulia). Kata dalam Jepang kuno untuk seorang pimpinan wilayah (area leader) adalah “agata-nushi”; “agata” sama dengan “area”, “nushi” sama dengan “leader”. Dalam bahasa Hebrew “area leader” disebut “aguda” “nasi”.
Ketika kami, orang Jepang, menghitung, “Satu, dua, tiga… sepuluh,” terkadang kami mengatakan: “Hi, fu, mi, yo, itsu, mu, nana, ya, kokono, towo.”
Ini adalah ungkapan tradisional, tapi kami, orang Jepang, tidak mengetahui apa artinya jika kami memikirkannya sebagai orang Jepang.
Konon, ungkapan ini berasal dari mitos Jepang kuno. Dalam mitos Shinto, dewa perempuan yang disebut “Amaterasu”, yang mengatur cahaya matahari di dunia, suatu kali bersembunyi di dalam gua di langit/surga, lalu dunia menjadi gelap. Kemudian, menurut buku tertua sejarah Jepang, seorang pendeta yang disebut “Koyane” berdoa di depan gua tersebut dan di depan dewa-dewa lainnya untuk membuat “Amaterasu” keluar. Meski kata-kata yang diucapkan dalam doa itu tidak disebutkan dalam buku ini, sebuah legenda mengatakan bahwa kata-kata itu adalah “Hi, fu, mi…”
Joseph Eidelberg menulis bahwa ini merupakan ungkapan Hebrew yang indah, jika kita anggap bahwa melalui rentang sejarah terjadi beberapa perubahan dalam pelafalan. Kata-kata tersebut diejakan sebagai berikut:
“Haiafa mi yotsia ma naane ykakhena tavo.”
Yang berarti: “Siapa yang dapat mengeluarkan sang cantik? Kata-kata apa yang dapat kami ucapkan untuk membuatnya keluar?” (Who shall bring out the beautiful? What words shall we say for her to come out?) Ini, secara mengejutkan, cocok dengan situasi dalam mitos Shinto di atas.
Selain itu, kami, orang Jepang, tidak hanya mengucapkan “Hi, hu, mi…,” tapi juga mengucapkan kata-kata berikut (yang artinya sama):
“Hitotsu, futatsu, mittsu, yottsu, itsutsu, muttsu, nanatsu, yattsu, kokonotsu, towo.”
Di sini, “totsu” atau “tsu” diletakkan pada “Hi, hu, mi,… (dan seterusnya)” sebagai bagian (partikel) akhir kata. Namun kata yang terakhir, “towo” (yang berarti sepuluh), tidak berubah. “Totsu” mungkin adalah kata Hebrew, “tetse”, yang berarti “She comes out” (ia keluar). Dan “tsu” mungkin adalah kata Hebrew, “tse”, yang berarti “Come out” (keluar). Eidelberg menganggap bahwa kata-kata ini diucapkan oleh dewa-dewa yang berada di sekeliling pendeta “Koyane”. Jadi, ketika “Koyane” mengucapkan “Hi”, dewa-dewa yang ada di sekelilingnya menambahkan “totsu” (She comes out) sebagai jawaban, dan selanjutnya ketika “Koyane” mengucapkan “Fu”, para dewa menambahkan “totsu” (tatsu), begitu seterusnya. Dengan demikian, kata-kata tersebut menjadi “Hitotsu, futatsu, mittsu….” Namun kata yang terakhir, “towo”, yang diucapkan secara bersama-sama oleh “Koyane” dan para dewa, jika ini merupakan kata Hebrew, “tavo”, artinya adalah “(She) shall come” (Dia akan datang). Ketika mereka mengucapkan kata ini, sang dewa perempuan, “Amaterasu”, keluar. “Hi, fu, mi…” dan “Hitotsu, futatsu, mittsu…” kemudian digunakan sebagai kata-kata untuk menghitung nomor.
Sebagai tambahan, nama pendeta, “Koyane”, terdengar dekat dengan kata Hebrew, “kohen”, yang berarti pendeta. Eidelberg menunjukkan banyak contoh kata Jepang lainnya yang terlihat berasal dari Hebrew. Daftar yang ia buat memuat ribuan kata. Saya tidak percaya bahwa ini hanya kebetulan belaka.
Dalam musik rakyat (folk song) Jepang kuno, banyak muncul kata-kata yang tidak bisa kami pahami sebagai orang Jepang. Dr. Eiji Kawamorita mengatakan bahwa banyak kata-kata yang terdapat dalam musik rakyat merupakan bahasa Hebrew. Sebuah musik rakyat Jepang di prefektur Kumamoto dinyanyikan “Hallelujah, haliya, haliya, tohse, Yahweh, Yahweh, yoitonnah….” Ini juga terdengar seperti bahasa Hebrew.
Suku-suku Israel yang Hilang (the Lost Tribes of Israel) datang ke Jepang Kuno
Israel kuno terbagi ke dalam 2 negara; pertama, kerajaan Judah (di sebelah selatan), kedua, kerajaan Israel (di sebelah utara). Pada tahun 70 Masehi, penduduk kerajaan Judah menyebar ke seluruh dunia. Terdapat beberapa bukti bahwa kaum Yahudi melintasi jalur sutra dan pergi mencapai Jepang. Tapi, bagaimana dengan penduduk kerajaan Israel? Buku sejarah kuno ‘the fourth book of Ezra’ mengatakan bahwa Sepuluh Suku dari kerajaan Israel pergi ke arah timur dan berjalan selama satu setengah tahun menuju tanah yang jauh. Bibel juga mengatakan, dalam Isaiah 11:12:
“Dia (Tuhan)…akan mengumpulkan orang Israel yang terusir, dan menghimpun orang Judah yang tersebar dari empat sudut bumi.”
Kata “tersebar” (dispersed) digunakan untuk orang Judah, sedangkan kata “terusir” (outcast/orang buangan/orang yang terusir) digunakan untuk orang Israel. Sepuluh suku dari utara (orang Israel-pen) terusir ke sebuah negeri yang jauh, bukan “tersebar”. Gerombolan utamanya pasti pergi ke sebuah negara yang jauh dari Israel.
Ada bukti kuat mengenai kehadiran Israel di Afghanistan, Kashmir, India, dan China. Berdasarkan buku sejarah China, pada masa abad ke-2 SM di China, terdapat orang-orang Israel yang memiliki kebiasaan melaksanakan khitanan. Sepuluh suku Israel pasti bergerak ke timur dan melewati negara-negara tersebut. Kita tidak bisa mengatakan bahwa gerombolan utama Sepuluh Suku Israel mustahil datang ke Jepang.
Di zaman kuno, beberapa kelompok orang pindah ke Jepang dari China, beberapa kelompok juga datang dari Rusia, dan beberapa dari Asia Tenggara. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Mongoloid. Di antara mereka ada kemungkinan gerombolan utama Sepuluh Suku Israel yang Hilang juga datang ke Jepang.
Saya tidak yakin bahwa agama Jepang yang disebut Shinto beserta semua adat/kebiasaannya berasal dari kerajaan Yahudi selatan (kerajaan Judah). Namun, jika Suku-suku yang Hilang datang ke Jepang pada awal-awal masa sejarah, maka dapat dimengerti jika agama dan kebiasaan mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap Jepang. Berdasarkan penelitian Dr. Kawamorita, dalam lagu-lagu rakyat Jepang kuno sering muncul nama suci Tuhan, “Yahweh”. Orang Yahudi Judah tidak memakai nama Yahweh, karena mereka berhenti melafalkan nama Yahweh sejak abad ke-3 SM. Sementara orang Israel tetap melafalkan nama Yahweh.
Nama resmi untuk Kaisar “Jinmu”, Kaisar pertama Jepang, adalah “Kamu-yamatoiware-biko-sumera-mikoto”. Joseph Eidelberg mengatakan bahwa nama ini bisa diterjemahkan dalam bahasa Hebrew menjadi “The king of Samaria, the noble founder of the Hebrew nation of Yahweh” (Raja Samaria, yang mulia pendiri bangsa Yahweh Hebrew). Ini tidak berarti bahwa “Jinmu” sendiri benar-benar merupakan pendiri bangsa Hebrew, tapi kenangan tentang bangsa Hebrew mungkin telah masuk ke dalam legenda Kaisar pertama Jepang, “Jinmu”.
Namun bagaimana dengan kebiasaan khitanan? Takatoshi Kobayashi, salah seorang putra Meiji-tennoh dan juga anggota keluarga Kerajaan Jepang, yang kini menjadi pastur Kristen, mengatakan bahwa kaisar dan pangeran Jepang dikhitan. Tapi, pengakuan ini adalah satu-satunya bukti, yang saya ketahui, bahwa kebiasaan khitanan eksis di Jepang.
Studi Golongan Darah
Prof. Tanemoto Furuhata, otoritas kedokteran forensik di Universitas Tokyo, menulis dalam bukunya bahwa golongan darah orang Jepang dan Yahudi sangat mirip, dan dirinya terkejut saat mengetahui hal ini. Saya juga mendengar seorang profesor asal Universitas Paris telah menemukan bahwa kromosom “Y” pada orang Jepang berukuran sama dengan orang Yahudi.
Tapi saya berharap banyak orang melakukan penelitian yang lebih dalam. Bukti yang meyakinkan, yang bisa membuktikan kepada semua orang bahwa Sepuluh Suku yang Hilang dahulu datang ke Jepang, belum ditemukan. Di bagian akhir, saya mengangkat rumor bahwa nama Tuhan pada cermin suci yang tersimpan di sebuah kuil Shinto Jepang, “Ise-jingu”, tertulis dalam bahasa Hebrew, sejak zaman kuno.
Rumor bahwa nama Tuhan pada cermin suci Ise tertulis dalam bahasa Hebrew
Di Imperial House of Japan, terdapat 3 harta berharga yang berasal dari mitos Jepang kuno. Ketiga benda tersebut adalah pedang, anting-anting permata, dan cermin. Di antara ketiga benda tersebut, cermin (yang disebut “Yata-no-kagami” (mirror of Yata/cermin Yata)) diletakkan di “Ise-jingu” yang merupakan kuil Shinto untuk Imperial House. Nyatanya, ada rumor bahwa nama Tuhan yang terdapat di bagian belakang cermin suci ini tertulis dalam bahasa Hebrew. Cermin ini dianggap sangat suci dan biasanya tak seorang pun yang diperbolehkan melihatnya. Namun ada beberapa orang yang bersikeras pernah melihatnya.
Kira-kira seratus tahun yang lalu, Arinori Mori, Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Jepang pada masa itu, bersikeras mengatakan bahwa ia pernah melihat bagian belakang cermin tersebut. Ia mengatakan bahwa pada bagian tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I AM” (Aku adalah Aku) dalam bahasa Hebrew, yaitu nama Tuhan yang berbicara kepada Musa (Eksodus 3:14).
Setelah Perang Dunia II, Dr. Sakon, seorang profesor dari Universitas Aoyama-gakuin, menyatakan bahwa dirinya telah melihat sebuah replika cermin yang ada di Imperial Palace. Ia menyatakan bahwa pada replika tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I AM” dalam bahasa Hebrew.
Konon, Yutaro Yano, pemeluk taat Shinto, melihat cermin itu dan mencatat pola bagian belakang cermin. Yano berulang kali bertanya pada seorang pendeta di Ise-jingu apakah dirinya boleh melihat cermin. Lalu sang pendeta merasa terharu atas keinginan Yano yang kuat, dan kemudian secara sembunyi-sembunyi mengizinkannya melihat cermin, selanjutnya Yano secara hati-hati menyalin pola bagian belakang cermin.
Salinan ini dijaga selama bertahun-tahun oleh sebuah kelompok Shinto bernama “Shinsei-Ryujinkai”, yang dipimpin oleh anak perempuan Yano. Benda tersebut terus dirahasiakan oleh kelompok ini. Tapi kemudian, mereka mengatakan bahwa ada “wahyu dari tuhan” untuk memperlihatkan salinan cermin tersebut kepada Yang Mulia Mikasanomiya-Nya, adik laki-laki Kaisar Hirohito (Showa Tennoh). Wadoh Kohsaka, seorang peneliti Shinto, memiliki peranan dalam penyerahan salinan itu kepada Mikasanomiya. Setelah itu, Kohsaka memutuskan untuk menunjukkan salinan itu kepada publik, melalui bukunya, karena ia berpikir penting bagi orang Jepang untuk mengetahuinya. Buku tersebut diterbitkan beberapa tahun lalu.
Ada 2 teori tentang bagaimana menterjemahkan huruf-huruf di cermin tersebut. Pertama, menterjemahkannya sebagai “Hifu-moji”, yang diyakini sebagai salah satu “Jindai-moji” (huruf Jepang yang dianggap telah eksis di Jepang kuno sebelum penulisan Kanji diimpor dari China). Kedua, menterjemahkannya sebagai Hebrew kuno. Teori “Hifu-moji” berasal dari Yano sendiri, tapi saya tidak mempercayai teori ini. Karena saya menemukan beberapa kontradiksi dalam penterjemahan yang dilakukan Yano. Dan tak ada yang tahu seperti apa bentuk Hifu-moji, jadi bagaimana bisa kita mengakuinya sebagai Hifu-moji? Selain itu, semua “Jindai-moji” kuno Jepang (yang dikenal) ditulis secara vertikal. Saya tidak pernah melihatnya tertulis secara horizontal.
Beberapa orang meyakini bahwa 7 huruf di bagian dalam lingakaran pusat cermin bisa dibaca sebagai “I AM THAT I AM” – dalam Hebrew adalah “eheyeh asher eheyeh”, eheyeh dibaca dua kali. Sementara yang lain meyakini bahwa 7 huruf tersebut bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light” (cahaya Yahweh) – dalam Hebrew adalah “or Yahweh” (or berarti cahaya). Jika bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light”, maka ini bisa menjadi alasan mengapa dewa di Imperial House disebut “Amaterasu”, yang berarti dewa cahaya (god of light) atau dewa matahari (god of the sun). Dewa di Imperial House of Japan mungkin pada awalnya berasal dari God of the Bible, tapi kemudian keyakinan kepada-Nya bercampur dengan keyakinan pada “Amaterasu”. Orang-orang mulai memanggil dewa Imperial House, dengan sebutan “Amaterasu”, karena di cermin tersebut tertulis “Yahweh’s light” (Mazmur 36:9, 84:11).
Sedangkan mengenai huruf-huruf yang berada di luar lingkaran pusat, seseorang meyakini bahwa itu adalah tulisan Yunani kuno. Namun beberapa huruf di antaranya sama dengan yang ada di dalam lingkaran pusat. Jadi, saya pikir huruf-huruf yang ada di dalam maupun di luar lingkaran pusat berasal dari bahasa yang sama.
Saya pikir huruf-huruf ini juga terlihat seperti bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel kuno. Jika ada pembaca (huruf-huruf ini) yang memiliki pemahaman yang berbeda, tolong beritahu saya. Kita tidak memiliki bukti bahwa salinan milik Yano benar-benar merupakan pola pada bagian belakang cermin. Ini tetap menjadi misteri. Saya harap hari dimana cermin tersebut dipertunjukkan segera datang.
sumber: http://worldwideword.wordpress.com/2010/02/09/suku-yahudi-yang-hilang-jepang/
Oleh: Arimasa Kubo
Upacara tradisional di Jepang bisa jadi merupakan jejak bahwa Yahudi dan 10 Suku Hilang Israel datang ke Jepang kuno.
Festival di Jepang yang Mengilustrasikan Kisah Ishaq
Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat sebuah kuil besar Shinto bernama “Suwa-Taisha” (Shinto adalah agama tradisional khas Jepang). Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha diadakan festival tradisional bernama “Ontohsai”. Festival ini mengilustrasikan kisah Ishaq dalam bab 22 Genesis, Bibel, yaitu, kisah mengenai Ibrahim yang hendak mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival “Ontohsai” diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival terpenting di “Suwa-Taisha”.
Di sebelah kuil “Suwa-Taisha”, ada sebuah gunung bernama Gunung Moriya (dalam bahasa Jepang disebut “Moriya-san”). Penduduk di area Suwa memanggil dewa Gunung Moriya dengan sebutan “Moriya no kami”, yang berarti “dewa Moriya”. Pada festival tersebut, seorang anak laki-laki diikatkan dengan tali pada sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas tikar bambu. Seorang pendeta Shinto menghampiri sang anak sambil menyiapkan sebilah pisau, namun kemudian seorang pembawa pesan/messenger (pendeta lainnya) datang, dan anak laki-laki tersebut dibebaskan. Ini mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah malaikat datang pada Ibrahim.
Pada festival ini, pengorbanan binatang juga dilakukan. Sebanyak 75 ekor rusa dikorbankan, tapi di antara jumlah tersebut diyakini bahwa ada seekor rusa yang kupingnya cacat. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan oleh tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi Shinto.
Penduduk menyebut festival ini sebagai “festival untuk dewa Misakuchi”. “Misakuchi” mungkin berasal dari “mi-isaku-chi”. “Mi” berarti “besar”, “isaku” mungkin saja “Ishaq” (dalam bahasa Hebrew adalah “Yitzhak”), dan “chi” adalah sesuatu (semacam partikel-pen) yang dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk Suwa menjadikan Ishaq sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para penyembah berhala.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut tak lagi dipraktekkan, tapi kita masih bisa melihat pilar kayu yang disebut “oniye-basira” yang berarti “pilar pengorbanan” (sacrifice-pillar).
Kini penduduk menggunakan binatang tiruan (stuffed animal/binatang sumpalan) sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan pengorbanan. Bagi rakyat di zaman Meiji (sekitar 100 tahun lalu), mengikat seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang dianggap sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan. Tapi festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki tersebut dipertahankan hingga permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae, seorang terpelajar Jepang dan pencatat perjalanan yang hidup di zaman Edo (sekitar 200 tahun lalu), menuliskan catatan perjalanannya dan mencatat apa yang ia lihat di Suwa. Catatan ini memperlihatkan keterangan detail mengenai “Ontohsai”. Catatan ini mengatakan bahwa upacara pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut, serta pengorbanan binatang, masih berlangsung pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini tersimpan di museum dekat Suwa-Taisha.
Festival “Ontohsai” dipertahankan oleh keluarga Moriya sejak zaman dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa “Moriya-no-kami” (dewa Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka berpikir bahwa “Gunung Moriya” adalah tempat suci mereka. Nama “Moriya” mungkin berasal dari “Moriah” (dalam bahasa Hebrew adalah “Moriyyah”) dalam Genesis 22:2.
Keluarga Moriya menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi. Festival Ontohsai pasti telah ada sejak zaman dahulu.
Saya tidak mengetahui negara lain, selain Jepang, yang memiliki sebuah festival yang mengilustrasikan kisah Ishaq. Saya yakin tradisi ini menjadi bukti kuat bahwa Israel pernah datang ke Jepang di zaman dahulu.
Hiasan pada bagian atas Imperial House of Japan sama dengan yang ditemukan pada Gerbang Yerusalem
Hiasan yang terdapat pada bagian atas Imperial House of Japan adalah berupa lambang bundar (round mark) berbentuk bunga dengan 16 daun bunga (foto kanan). Bentuknya di masa kini terlihat seperti bunga serunai/chrysanthemum (mum), tapi para ilmuwan mengatakan bahwa di zaman kuno, bentuk tersebut lebih terlihat seperti bunga matahari. Ini benar-benar bentuk yang sama dengan lambang pada gerbang Herod di Yerusalem. Hiasan pada gerbang Herod juga memiliki 16 daun bunga (foto kiri).
Simbol Bintang David juga digunakan di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan
Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Anda juga dapat melihat Bintang David kaum Yahudi terukir di setiap lampu, dekat bagian puncaknya.
Di prefektur Kyoto, ada sebuah kuil bernama “Manai-Jinja” yang merupakan Kuil Ise-jingu asli. Hiasan di “Manai-Jinja” juga adalah Bintang David. Jadi, ini telah digunakan sejak zaman dahulu kala.
Saya pernah mendengar bahwa Bintang David ditemukan di sebuah sinagog Yahudi pada abad ke-3 di Eropa.
Para pemimpin keagamaan Jepang, “Yamabushi”, meletakkan sebuah kotak hitam pada dahi mereka, serupa dengan kaum Yahudi yang meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Hebrew-pen) di dahi.
“Yamabushi” adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Kini, mereka dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang. Namun, Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian yang dikenakan “Yamabushi” pada dasarnya berwarna putih. Di dahinya, mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut “tokin”, yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka benar-benar menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi dengan menggunakan tali hitam. Ukuran “tokin” ini hampir sama dengan ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi “tokin” berbentuk bundar dan terlihat seperti bunga.
Sepertinya, phylactery Yahudi yang diletakkan di dahi semula berasal dari “pelat” dahi yang diletakkan pada dahi pendeta tertinggi, Aaron, dengan menggunakan tali (Exodus 28:36-38). Menurut cerita/dongeng, ukurannya sekitar 4 cm (1,6 inchi), dan beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ini berbentuk bunga. Jika demikian, maka pelat tersebut sangat mirip dengan bentuk “tokin” di Jepang yang dikenakan oleh “Yamabushi”.
Setahu saya, hanya ada dua negara di dunia ini yang mengenakan sebuah boks di dahi, yaitu Israel dan Jepang,
Selain itu, “Yamabushi” mengenakan kerang laut berukuran besar sebagai tanduk. Ini sangat mirip dengan kaum Yahudi yang meniup shofar, atau tanduk biri-biri jantan. Ketika ditiup, suara yang keluar dari tanduk “Yamabushi” benar-benar seperti suara shofar. Di Jepang tak ada biri-biri, “Yamabushi” harus menggunakan tanduk dari kerang laut, bukan tanduk biri-biri jantan.
“Yamabushi” adalah orang-orang yang menganggap pegunungan sebagai tempat suci mereka untuk latihan keagamaan. Orang-orang Israel juga menganggap pegunungan sebagai tempat suci. Ten Commandments Torah diturunkan di Gunung Sinai. Yerusalem adalah kota yang berada di atas gunung. Yesus (Yeshua) terbiasa mendaki gunung tersebut untuk berdoa di sana. Perubahan rupa Yesus juga terjadi di atas gunung.
Di Jepang terdapat legenda mengenai “tengu”, yang tinggal di sebuah gunung dan memiliki bentuk tubuh yang sama dengan “Yamabushi”. Ia memiliki hidung yang jelas serta kemampuan supernatural. “Ninja”, agen atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk tuannya, sering mendatangi “tengu” di gunung untuk mendapatkan kemampuan supernatural darinya. Setelah memberikan kekuatan, “Tengu” memberi “Ninja” sebuah “tora-no-maki” (gulungan “tora”). “Gulungan tora” ini dianggap sebagai buku/kitab terpenting yang berguna dalam setiap masalah. Kami, orang Jepang, kadang-kadang menggunakan buku ini dalam kehidupan sehari-hari kami, bahkan hingga hari ini.
Kami tidak mengetahui bahwa gulungan Torah Yahudi yang asli pernah ditemukan di lokasi-lokasi bersejarah di Jepang. Saya hanya dapat menduga bahwa “gulungan tora” menggunakan kitab suci bernama “Torah”, yang digunakan oleh kaum Yahudi hingga hari ini.
“Omikoshi” di Jepang menyerupai Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian)
Dalam Bibel, Kejadian Pertama chapter 15, tertulis bahwa David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem.
“David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. …Lalu David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus, begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga mengenakan ephod dari linan. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa.” (15: 25-28)
Ketika membaca paragraf tersebut, saya berpikir; “Betapa miripnya ini dengan pemandangan ketika orang-orang Jepang mengangkut ‘Omikoshi’ kami saat festival? Bentuk ‘Omikoshi’ Jepang benar-benar terlihat seperti tabut perjanjian. Orang-orang Jepang bernyanyi dan menari di depannya sambil bersorak-sorai, dan memainkan instrumen musik. Semua hal ini sangat mirip dengan kebiasaan Israel kuno.”
Orang-orang Jepang mengangkut “Omikoshi” di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya 2 tiang. Begitu pula halnya dengan Israel kuno:
“Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN.” (Kejadian 1 15:15)
Tabut perjanjian Israel memiliki 2 tiang (Eksodus 25: 10-15). Beberapa model tabut yang diperbaiki, seperti bayangan kita, menggunakan 2 tiang di bagian atas tabut. Namun Bibel mengatakan bahwa tiang-tiang tersebut diikatkan pada tabut oleh 4 cincin “pada keempat kakinya” (Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut pasti dilekatkan pada dasar tabut. Ini serupa dengan “Omikoshi” Jepang.
Tabut Israel memiliki 2 patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki surga-pen) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim adalah sejenis malaikat, mahluk surga yang misterius. Mereka memiliki sayap seperti burung. “Omikoshi Jepang” juga memiliki burung emas, yang disebut “Ho-oh”, pada bagian puncaknya, yang merupakan burung khayalan dan makhluk surga yang misterius. Secara keseluruhan, tabut Israel dilapisi emas. “Omikoshi” Jepang juga hampir seluruhnya dilapisi emas. Ukuran “Omikoshi” hampir sama dengan tabut Israel. “Omikoshi” Jepang mungkin merupakan sisa-sisa tabut Israel kuno.
Banyak hal yang berkenaan dengan tabut Israel menyerupai adat-istiadat Jepang
Raja David dan orang-orang Israel bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan tabut. Kami, orang Jepang, bernyanyi dan menari sambil membunyikan instrumen-instrumen musik di depan “Omikoshi”.
Beberapa tahun lalu, saya menonton sebuah film buatan Amerika berjudul “King David” yang memuat kisah terpercaya mengenai kehidupan Raja David. Dalam film itu, David membawa tabut ke Yerusalem sambil menari di depan tabut tersebut. Saya berpikir: “Jika pemandangan di Yerusalem itu diganti dengan pemandangan Jepang, maka adegan ini akan sama persis dengan apa yang saya lihat di sini, dalam festival-festival di Jepang.”
Atmosfir musiknya pun menyerupai musik Jepang. Tarian David benar-benar terlihat seperti tarian tradisional Jepang.
Dalam festival “Gion-jinja” di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut “Omikoshi” lalu masuk ke dalam air, dan menyeberangi sungai. Saya hanya dapat menduga bahwa ini berasal dari ingatan Israel Kuno yang mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan eksodus dari Mesir.
Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang yang terpilih sebagai pengangkut “Omikoshi” tinggal bersama di sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka mengangkut “Omikoshi”. Ini untuk mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum mengangkut “Omikoshi”, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri. Ini sama dengan kebiasaan Israel kuno:
“Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel.” (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; “David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun perempuan” (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap orang. Itu adalah sesuatu yang menyenangkan saat saya masih kanak-kanak.
Jubah pendeta Jepang menyerupai jubah pendeta Israel
Bibel mengatakan bahwa ketika David membawa tabut ke Yerusalem; “David berpakaian jubah yang terbuat dari linan halus” (Kejadian 1 15:27). Begitu pula dengan para pendeta dan paduan suara. Dalam Bibel berbahasa Jepang, ayat ini diterjemahkan menjadi “jubah dari linan putih”.
Pada Israel kuno, meski pendeta tinggi mengenakan jubah berwarna, para pendeta umum mengenakan linan putih. Para pendeta mengenakan pakaian berwarna putih pada acara-acara suci. Begitu pula dengan para pendeta Jepang, mengenakan jubah putih di setiap acara suci. Di Ise-jingu, salah satu kuil tertua di Jepang, semua pendeta mengenakan jubah putih. Dan di banyak kuil Shinto lainnya di Jepang, orang-orang mengenakan jubah putih saat mengangkut “Omikoshi”, persis seperti yang dilakukan Israel. Para pendeta Budha mengenakan jubah berwarna yang mewah. Tapi dalam agama Shinto Jepang, putih dianggap sebagai warna paling suci.
Kaisar Jepang, setelah ia menyelesaikan upacara kenaikan tahta, datang sendirian ke hadapan dewa Shinto. Saat pergi ke sana, ia mengenakan jubah berwarna putih polos di seluruh tubuhnya. Sementara kakinya tidak mengenakan apa-apa. Hal ini sama dengan ketika Musa dan Joshua melepas alas kaki mereka di hadapan Tuhan (Eksodus 3:5, Joshua 5:15).
Marvin Tokayer, seorang rabbi yang tinggal di Jepang selama 10 tahun, menulis dalam bukunya:
“Jubah linan yang dikenakan oleh pendeta Shinto Jepang memiliki bentuk yang sama dengan jubah linan putih pada para pendeta Israel kuno.”
Jubah para pendeta Shinto Jepang memiliki tali sepanjang 20-30 cm (sekitar 10 inchi) yang menggantung dari sudut jubah. Keberadaan bagian yang menjuntai ini (fringe/jumbai) merupakan kebiasaan orang-orang Israel. Deuteronomy 22:12 mengatakan:
“Buatlah menggantung di sudut pakaian mereka sepanjang generasi.”
Fringe (tassel/jumbai) merupakan sebuah tanda bahwa seseorang adalah kaum Israel. Dalam ajaran Perjanjian Baru, juga tertulis bahwa para Pharisee (anggota sekte Yahudi kuno-pen) “memanjangkan jumbai pada pakaian mereka” (Matius 23:5). Seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan datang pada Yesus (Yeshua) dan menyentuh “jumbai pada mantel-Nya” (Matius 9:20, Perjanjian Baru: Translation in the Language of the People, diterjemahkan oleh Charles B. Williams). Pakaian Israel kuno kadang kala tidak memiliki jumbai. Namun jubah mereka benar-benar memiliki jumbai. Menurut tradisi, Tallit Yahudi (syal untuk beribadah), yang dipakai oleh Yahudi ketika berdoa, memiliki jumbai pada sudut-sudutnya.
Pendeta Shinto Jepang memasangkan kain berbentuk persegi pada jubah mereka, dari bahu hingga paha. Ini sama dengan ephod yang dipakai oleh David:
“David juga mengenakan ephod dari linan.” (Kejadian 1 15:27)
Meskipun ephod yang dikenakan pendeta tinggi dipenuhi warna dengan adanya permata, pendeta biasa, yang tingkatnya berada di bawahnya, mengenakan ephod dari kain linan putih yang sederhana (Samuel 1 22:18). Rabbi Tokayer mengatakan bahwa kain persegi yang menempel pada jubah pendeta Shinto Jepang terlihat sangat mirip dengan ephod Kohen, pendeta Yahudi.
Pendeta Shinto Jepang meletakkan topi di kepalanya, persis seperti yang dilakukan pendeta Yahudi (Eksodus 29:40). Pendeta Jepang juga memasang ikat/selempang di pinggangnya. Begitu pula halnya dengan pendeta Israel. Pakaian para pendeta Shinto Jepang pasti merupakan pakaian yang digunakan oleh Israel kuno.
Melambaikan hasil panen juga merupakan kebiasaan di Jepang
Orang-orang Yahudi melambaikan hasil panen mereka, berupa tumpukan padi, 7 minggu sebelum Shavuot (Pentecost, Leviticus 23:10-11). Mereka juga melakukannya pada saat Feast of Booths (Sukkot, Leviticus 23:40). Ini telah menjadi tradisi sejak masa Musa. Pendeta Israel kuno juga melambaikan sebuah ranting tanaman ketika melakukan penyucian terhadap seseorang. David mengatakan, “Bersihkan diriku dengan hyssop (herbal aromatik berupa semak kecil, dulu sering dipakai untuk pengobatan-pen), dan aku akan menjadi bersih” [Mazmur 51:7(9)]. Ini juga merupakan adat-istiadat tradisional Jepang.
Ketika pendeta Jepang melakukan penyucian terhadap seseorang atau sesuatu, ia melambaikan sebuah ranting tanaman. Atau melambaikan “harainusa”, yang sangat serupa dengan ranting tanaman. “Harainusa” di masa sekarang lebih sederhana dan terbuat dari kertas putih yang dilipat membentuk zig-zag seperti petir kecil, namun di zaman dahulu “harainusa” adalah sebuah ranting tanaman atau rumput.
Seorang wanita Jepang beragama Kristen yang saya kenal, sebelumnya menganggap bahwa “harainusa” ini serupa dengan kebiasaan pagan. Namun ia kemudian pergi ke Amerika Serikat dan memperoleh kesempatan menghadiri sebuah pertemuan Sukkot. Saat ia melihat seorang Yahudi yang sedang melambaikan seikat hasil panen, ia berkata dalam hatinya, “Wah, ini sama dengan yang dilakukan oleh pendeta Jepang! Di sinilah rumah untuk orang Jepang berada.”
Struktur kuil Shinto Jepang sama dengan tempat ibadat (God’s Tabernacle) Israel Kuno
Bagian dalam tempat ibadat Israel kuno terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama adalah Holy Place, dan yang kedua adalah Holy of Holies. Begitu pun halnya dengan kuil Shinto Jepang, terbagi menjadi 2 bagian.
Fungsi-fungsi yang terdapat pada kuil Jepang serupa dengan tempat ibadat Israel. Orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place yang ada di kuil. Mereka tidak dapat memasuki Holy Place. Hanya pendeta Shinto yang boleh masuk. Pendeta Shinto memasuki Holy of Holies hanya pada saat-saat tertentu. Ini sama halnya dengan tempat ibadat Israel.
Holy of Holies di kuil Shinto Jepang terletak di sebelah barat, persis seperti Holy of Holies pada tempat ibadat Israel. Holy of Holies Shinto juga berada satu tingkat lebih tinggi daripada Holy Place, di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga. Para ilmuwan mengatakan bahwa, dalam kuil Israel yang dibangun oleh Solomon, Holy of Holies juga berada pada tingkat yang lebih tinggi, dan di antara Holy of Holies dan Holy Place terdapat anak tangga selebar 2,7 meter (9 kaki).
Di bagian depan kuil Jepang terdapat 2 patung singa, disebut “komainu”, yang berdiri di kedua sisi jalan. Kedua patung tersebut bukanlah berhala, tapi penjaga kuil. Hal ini pun merupakan salah satu kebiasaan Israel kuno. Di kuil Tuhan Israel dan istana Solomon, terdapat patung-patung atau relief-relief singa (Raja-raja 1 7:36, 10:19).
Dalam sejarah awal Jepang, tak pernah ada penggunaan singa. Tapi patung singa tersebut telah diletakkan di kuil-kuil Jepang sejak zaman kuno. Hal ini dibuktikan oleh para ilmuwan bahwa patung singa yang ada di bagian depan kuil-kuil Jepang berasal dari Timur Tengah.
Dekat pintu masuk kuil Jepang, terdapat “temizuya”, yaitu tempat bagi para penyembah untuk mencuci tangan dan mulut. Ini sama dengan yang ditemukan pada sinagog Yahudi. Tempat ibadat dan kuil Israel kuno juga memiliki laver, untuk mencuci dan bersuci, dekat pintu masuk.
Di bagian depan kuil Jepang, terdapat gerbang, yang disebut “torii”. Gerbang dengan model seperti ini tidak ada di China atau Korea, ini khas Jepang. Gerbang “torii” terdiri dari 2 pilar vertikal dan sebuah palang yang menghubungkan bagian atas pilar. Tapi bentuk yang paling kuno hanya terdiri dari 2 pilar dan sebuah tali yang menghubungkan pilar. Ketika seorang pendeta Shinto menunduk pada gerbang, ia menunduk kepada 2 pilar tersebut secara terpisah. Maka diasumsikan bahwa gerbang “torii” tersebut pada awalnya hanya terdiri dari dua pilar.
Pada kuil Israel, terdapat 2 pilar yang digunakan sebagai gerbang (Raja-raja 1 7:21). Dan dalam bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel kuno, kata gerbang adalah “taraa”. Kata ini mungkin berubah sedikit dan menjadi kata Jepang, “torii”. Beberapa “torii”, terutama pada kuil tua, bercat merah. Saya menduga bahwa ini merupakan gambaran mengenai 2 pos pintu, termasuk kayu horizontalnya, yang terkena darah anak biri-biri pada malam sebelum eksodus Israel dari Mesir.
Dalam agama Shinto Jepang, ada sebuah kebiasaan melingkupi/mengelilingi tempat suci dengan sebuah tali yang disebut “shimenawa”, yang mana tali ini memiliki sarung (terbuat dari kertas putih) yang dimasukkan sepanjang tali. Tali “shimenawa” ini dipasang sebagai pembatas. Bibel mengatakan bahwa saat Musa memberikan en Commandment dari Tuhan, di Gunung Sinai, ia “memasang pembatas” (Eksodus 19:12) di sekeliling gunung supaya kaum Israel tidak mendekatinya. Meski saya tidak tahu apa yang digunakan sebagai “pembatas” tersebut, pasti ada tali atau yang lain yang dipasang sebagai pembatas. Jika demikian, maka tali “shimenawa” Jepang mungkin merupakan satu kebiasaan yang berasal dari zaman Musa.
Satu-satunya perbedaan besar antara kuil Jepang dan kuil Israel kuno adalah bahwa kuil Jepang (Shinto) tidak memiliki altar pembakaran untuk pengorbanan hewan. Sebelumnya saya penasaran mengapa agama Shinto tak memiliki kebiasaan mengorbankan hewan, jika benar bahwa Shinto berasal dari agama Israel kuno. Tapi kemudian saya menemukan jawabannya dalam Deuteronomy chapter 12. Musa memerintahkan kaumnya untuk tidak melakukan pengorbanan hewan di tempat lain selain tempat khusus di Kanaan (12:10-14). Jadi, jika Israel datang ke Jepang kuno, mereka tidak diperbolehkan melakukan pengobanan hewan.
Banyak kebiasaan Jepang yang menyerupai kebiasaan Israel kuno
Saat orang-orang Jepang beribadat di depan Holy Place di kuil Shinto, mereka pertama-tama membunyikan bel emas yang tergantung di pusat pintu masuk. Ini adalah kebiasaan Israel kuno. Pendeta tinggi, Aaron, meletakkan “bel emas” di keliman (batas pakaian dimana pinggirnya dilipat dan dijahit) jubahnya. Sehingga dengan demikian suara bel dapat terdengar dan sang pendeta takkan mati ketika melakukan pelayanan di sana (Eksodus 28:33-35).
Orang-orang Jepang bertepuk tangan 2 kali ketika beribadat di depan Holy Place. Ini, di masa Israel kuno, merupakan kebiasaan yang memiliki arti bahwa “I keep promises” (saya berjanji). Dalam Injil, Anda dapat menemukan kata yang diterjemahkan sebagai “pledge” (janji). Pengertian aslinya dalam bahasa Hebrew adalah “clap his hand” (menepukkan kedua tangannya/bertepuk tangan) (Ezekiel 17:18, Amsal Sulaiman 6:1). Tampaknya orang-orang Israel kuno selalu melakukan tepuk tangan ketika berjanji atau ketika melakukan sesuatu yang penting.
Orang-orang Jepang menunduk di depan kuil sebelum dan sesudah bertepuk tangan dan beribadat. Mereka juga menunduk sebagai salam penghormatan ketika bertemu. Menunduk juga merupakan kebiasaan Israel kuno. Jacob menunduk saat ia mendekati Esau (Genesis 33:3). Saya telah memperhatikan bahwa orang-orang Yahudi modern tidak memiliki kebiasaan menunduk. Namun, mereka menunduk ketika membacakan doa. Orang-orang Ethiopia modern memiliki kebiasaan menunduk, mungkin disebabkan oleh Yahudi kuno yang bermigrasi ke Ethiopia di zaman dahulu. Cara orang Ethiopia menunduk serupa dengan cara orang Jepang.
Kami, orang Jepang, memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Ketika saya menonton drama TV dari masa Samurai, saya melihat seorang wanita melempar garam ke tempat dimana seorang pria yang ia benci beranjak pergi. Kebiasaan ini sama dengan Israel kuno. Setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Judge 9:45). Kami, orang Jepang, dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Saya mendengar bahwa saat orang Yahudi pindah ke rumah baru, ia menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Lagi-lagi, hal ini sama dengan yang ada di Jepang. Di restoran khas Jepang, sang pemilik biasanya meletakkan garam di dekat pintu masuk. Yahudi juga menggunakan garam untuk daging Kosher. Semua daging Kosher dimurnikan dengan garam dan semua makanan diawali dengan roti dan garam.
Orang Jepang meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam-pen) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Lagi-lagi, konsep yang sama dengan yang ada pada Israel.
Pegulat Jepang, “sumo”, menaburi ring sumo dengan garam sebelum mereka bertarung. Orang-orang Amerika dan Eropa penasaran mengapa mereka menaburkan garam. Namun Rabbi Tokayer menulis bahwa kaum Yahudi dapat cepat memahami maknanya. Orang Jepang mempersembahkan garam setiap kali mereka melaksanakan persembahan keagamaan. Ini sama dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Israel, karena Bibel mengatakan: “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Orang Jepang zaman kuno memiliki kebiasaan memasukkan garam saat mandi pertama bayi. Orang Israel kuno membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam dan/atau air merupakan kebiasaan umum pada orang Jepang dan Israel.
Dalam Injil berbahasa Hebrew, kata “clean” (bersih) atau “unclean” (tidak bersih) sering muncul. Orang Amerika atau Eropa tidak familiar dengan konsep ini. Tapi orang Jepang dapat dengan mudah memahaminya, karena ini merupakan konsep penting dalam Shinto untuk menghargai kebersihan dan menghindari ketidakbersihan. Lagi-lagi, mungkin saja konsep ini berasal dari Israel kuno.
Dalam agama Shinto Jepang tidak ada berhala, sama halnya seperti dalam agama Israel
Kuil Budha memiliki berhala yang diukir dalam bentuk Budha dan dewa lainnya. Tapi dalam kuil Shinto Jepang tidak ada berhala. Di pusat Holy of Holies kuil Shinto, terdapat sebuah cermin, pedang, atau anting-anting. Namun para pemeluk Shinto tidak menganggap benda-benda tersebut sebagai dewa mereka. Dalam agama Shinto, dewa dianggap tidak terlihat. Cermin, pedang, dan anting-anting tersebut, bukanlah berhala, tapi hanya sebagai objek untuk menunjukkan bahwa tempat itu merupakan tempat suci dimana dewa, yang tak terlihat, turun.
Dalam tabut perjanjian Israel kuno, terdapat lembaran-lembaran dari batu (tablet of stone) yang memuat Ten Commandments, botol berisi manna (makanan surga/makanan yang diturunkan Allah swt-pen), dan tongkat Aaron. Benda-benda ini bukan berhala, tapi hanya objek untuk menunjukkan bahwa itu adalah tempat suci dimana Tuhan, yang tak terlihat, turun. Kita bisa mengatakan hal yang sama berkaitan dengan keberadaan benda-benda tersebut dalam kuil Jepang.
Orang Jepang kuno memiliki kepercayaan pada Yahweh!?
Terdapat satu perbedaan besar, yaitu, agama Shinto mempercayai banyak dewa, sedangkan agama Israel (Yahudi) hanya mempercayai satu Tuhan.
Namun, berbeda dari Yudaisme modern, agama orang Israel kuno (khususnya 10 suku Israel yang hilang, Ten Lost Tribe of Israel) cenderung menyembah berhala dan memiliki kepercayaan politeistik (mempercayai banyak tuhan). Mereka tidak hanya mempercayai satu tuhan, Yahweh, tapi juga Baal, Asytaroth, Molech, dan tuhan pagan lainnya. Praktis agama Israel kuno bukan agama monoteistik. Kepercayaan politeistik Shinto tampaknya berasal dari kecenderungan Israel kuno yang politeis. Para agamawan Shinto mengatakan bahwa dewa agama Shinto, “Susanoh”, dalam beberapa aspek mirip dengan Baal, dan dewa perempuan agama Shinto, “Amaterasu”, mirip dengan Aystaroth.
Hingga 40 dekade yang lalu, di Gunung Inomure (prefektur Ooita), masyarakat selalu mengadakan upacara untuk meminta hujan. Mereka mengumpulkan kayu-kayu yang membentuk Bintang David untuk membuat fondasi, kemudian di atasnya dibangun sebuah menara dari cabang-cabang pohon, lalu di puncak menara diletakkan tiang bambu yang diikat dengan kulit ular. Mereka membakar menara tersebut dan berdoa meminta hujan. Ini mengingatkan kita pada cerita mengenai Israel kuno yang sering membakar kemenyan pada ular perunggu (yang dibuat oleh Musa) di sebuah tiang hingga pemerintahan King Hezekiah (Raja-raja 2 18:4).
Meskipun Shinto merupakan agama politeis, saya pikir ada kemungkinan bahwa Shinto kuno juga pernah memiliki kepercayaan pada Yahweh.
Dewa Shinto yang pertama kali lahir, di antara dewa-dewa lainnya, disebut “Amenominakanushi-no-kami”. Dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama kali muncul, tinggal di tengah-tengah alam semesta, tidak memiliki bentuk, tidak mati, penguasa (yang tak terlihat) alam semesta, dan tuhan yang mutlak, mirip dengan tuhan dalam Bibel yaitu sebagai Penguasa alam semesta.
Para arkeolog mengatakan bahwa agama-agama Babilon dan Mesir pada awalnya mempercayai satu dewa/tuhan yang disebut “the god of sky”, yang mana sepertinya memiliki keterkaitan dengan “God of heaven” versi Bibel. Kemudian, agama-agama mereka mengalami degradasi (degraded) menjadi politeisme. Saya pikir kita bisa mengatakan bahwa hal ini juga terjadi pada agama Shinto. Saya menduga agama Shinto kuno memiliki kepercayaan pada Tuhan Yahweh, tapi kemudian memburuk (degenerated) menjadi politeisme. Saya percaya bahwa orang Jepang seharusnya kembali mempercayai tuhan (yang esa) yang diajarkan Bibel.
Seorang teman saya yang beragama Kristen, Tsuji, suatu kali pernah menceritakan pada saya sebuah kisah. Suatu hari temannya, seorang pemeluk Shinto yang taat, datang padanya. Si pemeluk Shinto ini membawa Bibel dan berkata pada Tsuji dengan penuh semangat:
“Saya membaca Torah. Saya sangat terkejut saat mengetahui upacara keagamaan Israel kuno. Bentuknya sama dengan Shinto! Bentuk festivalnya, bentuk kuilnya, cara menghargai kebersihan, semuanya sama dengan Shinto!” Lalu Tsuji berkata padanya:
“Ya, saya juga telah mengetahuinya. Jika sudah tahu, mengapa kau tidak mempercayai tuhan yang diajarkan Bibel? Saya percaya bahwa ini adalah jalan untuk membangun dan mendapatkan kembali agama Shinto sejati yang kau yakini.” Setelah mendengar ucapan ini, untuk beberapa saat, si pemeluk Shinto terkejut sehingga tak bisa mengatakan sepatah kata.
Ucapan Tsuji sama dengan perasaan yang saya miliki terhadap semua pemeluk Shinto di Jepang. Saya berdoa semoga semua orang Jepang kembali mempercayai Tuhan Bibel. Karena Dia juga adalah Bapak bangsa Jepang.
Festival-festival di Jepang mirip dengan festival-festival Israel kuno
Di masa kini, kami, orang Jepang, merayakan tahun baru pada 1 Januari, tapi menurut sejarah kami menggunakan kalender komariyah/bulan (lunar calender), dimana 15 Januari merupakan tanggal resmi untuk perayaan tahun baru. Saat perayaan, orang Jepang memiliki kebiasaan memakan “mochi” (rice cakes/kue nasi) selama 7 hari berturut-turut. Ini serupa dengan kebiasaan Yahudi, karena Bibel menyatakan:
“Dan hari ke-15 di bulan yang sama (bulan ke-1) adalah Feast of Unleavened Bread to the Lord (Pesta Roti -yang Tak Diadon- untuk Tuhan-pen); 7 hari kau harus memakan roti yang tak diadon.” (Leviticus 23:6)
Resep “roti tak diadon” (unleavened bread) ini sama dengan “mochi” Jepang, karena jika Anda menggunakan nasi, bukan tepung terigu, sebagai bahannya, maka akan menjadi “mochi” Jepang. Kata dalam Hebrew untuk “unleavened bread” adalah “matsah”. Saya tidak percaya bahwa, secara kebetulan, dua kata ini (“mochi” dan “matsah”) terdengar sama.
Selain itu, orang Jepang juga memakan bubur dengan 7 jenis herbal (jamu/ramuan bumbu/tumbuhan bumbu-pen) pahit selama perayaan. Dalam sejarah, orang-orang memakan herbal pada 15 Januari. Israel kuno juga makan “dengan herbal pahit” pada tanggal 15 bulan pertama (Eksodus 12:8).
Di Jepang, kita memiliki festival-festival “Gion” yang diadakan di banyak lokasi selama musim panas. Festival yang terpenting adalah yang diadakan di kuil Shinto “Yasaka-jinja” di Kyoto. Festival di Kyoto ini berlanjut sepanjang Juli, setiap tahun. Tapi, bagian terpenting dalam festival ini diadakan dari tanggal 17 sampai 25 Juli (kami, orang Jepang, menyebutnya “bulan ketujuh”). Anggal 1 dan 10 Juli juga merupakan hari yang penting. Ini sudah menjadi tradisi sejak zaman kuno. Tapi, tanggal 17 di bulan ketujuh adalah hari dimana bahtera Nuh singgah di Ararat:
“Kemudian bahtera tersebut beristirahat, di bulan ketujuh, hari ketujuh belas, di pegunungan Ararat.” (Genesis 8:4)
Kita bisa menduga bahwa Israel kuno mengadakan pesta thanksgiving di hari tersebut. Tapi setelah Musa datang, diganti dengan Feast of Booths (festival hasil panen) yang diadakan pada tanggal 1 dan 10 bulan ke-7, dan selama 8 hari sejak tanggal 15 bulan ke-7 (Bilangan 29:1, 7, 12, 35).
Festival “Gion” di Kyoto dimulai dengan harapan bahwa tak ada wabah/hama yang menimpa penduduk. Ini serupa dengan yang dilakukan oleh Raja Solomon, dengan harapan tak ada wabah/hama di negaranya, pesta diadakan selama 8 hari berturut-turut (termasuk hari pertemuan terakhir) mulai tanggal 15 bulan ke-7 (Kejadian 2 7:8-10). Sekitar 120 tahun lalu, seorang pengusaha dari Skotlandia, N. Mcleod, datang ke Jepang dan meneliti kebiasaan yang ada di Jepang. Ia menulis sebuah buku berjudul “Epitome of Japanese Ancient History” (Ringkasan Sejarah Kuno Jepang). Dalam buku tersebut, ia menulis bahwa festival “Gion” di Kyoto sangat mirip dengan festival-festival Yahudi. Rabbi Tokayer memberikan komentar yang serupa. Ia mengatakan bahwa nama “Gion” mengingatkannya pada “Zion” yang merupakan nama lain untuk Yerusalem. Faktanya, Kyoto dulu disebut “Heian-kyo” yang berarti “peace” (damai). Yerusalem dalam bahasa Hebrew juga memiliki arti “peace”. “Heian-kyo” mungkin adalah bahasa Jepang untuk “Yerusalem”.
Dalam festival “Gion” di Kyoto, orang-orang memulai festival dengan teriakan “en-yara-yah”. Kami, orang Jepang, tidak mengerti arti dari kata Jepang ini. Namun, Eiji Kawamorita, seorang ilmuwan dan pastor Kristen asal Jepang yang menguasai bahasa Hebrew, menulis dalam bukunya bahwa kata ini berasal dari ekspresi Hebrew, “eni ahalel yah”, yang berarti “I praise Yahweh (the Lord)” (saya memuji Yahweh (Tuhan) / segala puji bagi Yahweh (Tuhan)).
Beberapa kata Jepang kuno berasal dari bahasa Hebrew
Joseph Eidelberg, seorang Yahudi yang pernah datang ke Jepang dan tinggal selama bertahun-tahun di sebuah kuil Shinto Jepang, menulis buku berjudul “The Japanese and the Ten Lost Tribes of Israel”. Ia menulis bahwa banyak kata-kata dalam bahasa Jepang yang berasal dari Hebrew kuno.
Sebagai contoh, kami, orang Jepang, menggunakan “hazukashime” untuk mempermalukan atau menghina. Dalam Hebrew, kata yang digunakan adalah “hadak hashem” (tread down the name / menginjak-injak nama seseorang, lihat Job 40:12). Makna dan pelafalan kedua kata tersebut hampir sama.
Kami menggunakan “anta” untuk mengatakan “you” (kau/kamu), sama dengan bahasa Hebrew. Raja-raja Jepang kuno dipanggil dengan kata “mikoto”, yang barangkali berasal dari kata Hebrew, “malhuto”, yang berarti “his kingdom” (kerajaannya). Kami menyebut Kaisar Jepang “mikado”. Kata ini mirip dengan kata Hebrew, “migadol”, yang berarti “the noble” (bangsawan/mulia). Kata dalam Jepang kuno untuk seorang pimpinan wilayah (area leader) adalah “agata-nushi”; “agata” sama dengan “area”, “nushi” sama dengan “leader”. Dalam bahasa Hebrew “area leader” disebut “aguda” “nasi”.
Ketika kami, orang Jepang, menghitung, “Satu, dua, tiga… sepuluh,” terkadang kami mengatakan: “Hi, fu, mi, yo, itsu, mu, nana, ya, kokono, towo.”
Ini adalah ungkapan tradisional, tapi kami, orang Jepang, tidak mengetahui apa artinya jika kami memikirkannya sebagai orang Jepang.
Konon, ungkapan ini berasal dari mitos Jepang kuno. Dalam mitos Shinto, dewa perempuan yang disebut “Amaterasu”, yang mengatur cahaya matahari di dunia, suatu kali bersembunyi di dalam gua di langit/surga, lalu dunia menjadi gelap. Kemudian, menurut buku tertua sejarah Jepang, seorang pendeta yang disebut “Koyane” berdoa di depan gua tersebut dan di depan dewa-dewa lainnya untuk membuat “Amaterasu” keluar. Meski kata-kata yang diucapkan dalam doa itu tidak disebutkan dalam buku ini, sebuah legenda mengatakan bahwa kata-kata itu adalah “Hi, fu, mi…”
Joseph Eidelberg menulis bahwa ini merupakan ungkapan Hebrew yang indah, jika kita anggap bahwa melalui rentang sejarah terjadi beberapa perubahan dalam pelafalan. Kata-kata tersebut diejakan sebagai berikut:
“Haiafa mi yotsia ma naane ykakhena tavo.”
Yang berarti: “Siapa yang dapat mengeluarkan sang cantik? Kata-kata apa yang dapat kami ucapkan untuk membuatnya keluar?” (Who shall bring out the beautiful? What words shall we say for her to come out?) Ini, secara mengejutkan, cocok dengan situasi dalam mitos Shinto di atas.
Selain itu, kami, orang Jepang, tidak hanya mengucapkan “Hi, hu, mi…,” tapi juga mengucapkan kata-kata berikut (yang artinya sama):
“Hitotsu, futatsu, mittsu, yottsu, itsutsu, muttsu, nanatsu, yattsu, kokonotsu, towo.”
Di sini, “totsu” atau “tsu” diletakkan pada “Hi, hu, mi,… (dan seterusnya)” sebagai bagian (partikel) akhir kata. Namun kata yang terakhir, “towo” (yang berarti sepuluh), tidak berubah. “Totsu” mungkin adalah kata Hebrew, “tetse”, yang berarti “She comes out” (ia keluar). Dan “tsu” mungkin adalah kata Hebrew, “tse”, yang berarti “Come out” (keluar). Eidelberg menganggap bahwa kata-kata ini diucapkan oleh dewa-dewa yang berada di sekeliling pendeta “Koyane”. Jadi, ketika “Koyane” mengucapkan “Hi”, dewa-dewa yang ada di sekelilingnya menambahkan “totsu” (She comes out) sebagai jawaban, dan selanjutnya ketika “Koyane” mengucapkan “Fu”, para dewa menambahkan “totsu” (tatsu), begitu seterusnya. Dengan demikian, kata-kata tersebut menjadi “Hitotsu, futatsu, mittsu….” Namun kata yang terakhir, “towo”, yang diucapkan secara bersama-sama oleh “Koyane” dan para dewa, jika ini merupakan kata Hebrew, “tavo”, artinya adalah “(She) shall come” (Dia akan datang). Ketika mereka mengucapkan kata ini, sang dewa perempuan, “Amaterasu”, keluar. “Hi, fu, mi…” dan “Hitotsu, futatsu, mittsu…” kemudian digunakan sebagai kata-kata untuk menghitung nomor.
Sebagai tambahan, nama pendeta, “Koyane”, terdengar dekat dengan kata Hebrew, “kohen”, yang berarti pendeta. Eidelberg menunjukkan banyak contoh kata Jepang lainnya yang terlihat berasal dari Hebrew. Daftar yang ia buat memuat ribuan kata. Saya tidak percaya bahwa ini hanya kebetulan belaka.
Dalam musik rakyat (folk song) Jepang kuno, banyak muncul kata-kata yang tidak bisa kami pahami sebagai orang Jepang. Dr. Eiji Kawamorita mengatakan bahwa banyak kata-kata yang terdapat dalam musik rakyat merupakan bahasa Hebrew. Sebuah musik rakyat Jepang di prefektur Kumamoto dinyanyikan “Hallelujah, haliya, haliya, tohse, Yahweh, Yahweh, yoitonnah….” Ini juga terdengar seperti bahasa Hebrew.
Suku-suku Israel yang Hilang (the Lost Tribes of Israel) datang ke Jepang Kuno
Israel kuno terbagi ke dalam 2 negara; pertama, kerajaan Judah (di sebelah selatan), kedua, kerajaan Israel (di sebelah utara). Pada tahun 70 Masehi, penduduk kerajaan Judah menyebar ke seluruh dunia. Terdapat beberapa bukti bahwa kaum Yahudi melintasi jalur sutra dan pergi mencapai Jepang. Tapi, bagaimana dengan penduduk kerajaan Israel? Buku sejarah kuno ‘the fourth book of Ezra’ mengatakan bahwa Sepuluh Suku dari kerajaan Israel pergi ke arah timur dan berjalan selama satu setengah tahun menuju tanah yang jauh. Bibel juga mengatakan, dalam Isaiah 11:12:
“Dia (Tuhan)…akan mengumpulkan orang Israel yang terusir, dan menghimpun orang Judah yang tersebar dari empat sudut bumi.”
Kata “tersebar” (dispersed) digunakan untuk orang Judah, sedangkan kata “terusir” (outcast/orang buangan/orang yang terusir) digunakan untuk orang Israel. Sepuluh suku dari utara (orang Israel-pen) terusir ke sebuah negeri yang jauh, bukan “tersebar”. Gerombolan utamanya pasti pergi ke sebuah negara yang jauh dari Israel.
Ada bukti kuat mengenai kehadiran Israel di Afghanistan, Kashmir, India, dan China. Berdasarkan buku sejarah China, pada masa abad ke-2 SM di China, terdapat orang-orang Israel yang memiliki kebiasaan melaksanakan khitanan. Sepuluh suku Israel pasti bergerak ke timur dan melewati negara-negara tersebut. Kita tidak bisa mengatakan bahwa gerombolan utama Sepuluh Suku Israel mustahil datang ke Jepang.
Di zaman kuno, beberapa kelompok orang pindah ke Jepang dari China, beberapa kelompok juga datang dari Rusia, dan beberapa dari Asia Tenggara. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Mongoloid. Di antara mereka ada kemungkinan gerombolan utama Sepuluh Suku Israel yang Hilang juga datang ke Jepang.
Saya tidak yakin bahwa agama Jepang yang disebut Shinto beserta semua adat/kebiasaannya berasal dari kerajaan Yahudi selatan (kerajaan Judah). Namun, jika Suku-suku yang Hilang datang ke Jepang pada awal-awal masa sejarah, maka dapat dimengerti jika agama dan kebiasaan mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap Jepang. Berdasarkan penelitian Dr. Kawamorita, dalam lagu-lagu rakyat Jepang kuno sering muncul nama suci Tuhan, “Yahweh”. Orang Yahudi Judah tidak memakai nama Yahweh, karena mereka berhenti melafalkan nama Yahweh sejak abad ke-3 SM. Sementara orang Israel tetap melafalkan nama Yahweh.
Nama resmi untuk Kaisar “Jinmu”, Kaisar pertama Jepang, adalah “Kamu-yamatoiware-biko-sumera-mikoto”. Joseph Eidelberg mengatakan bahwa nama ini bisa diterjemahkan dalam bahasa Hebrew menjadi “The king of Samaria, the noble founder of the Hebrew nation of Yahweh” (Raja Samaria, yang mulia pendiri bangsa Yahweh Hebrew). Ini tidak berarti bahwa “Jinmu” sendiri benar-benar merupakan pendiri bangsa Hebrew, tapi kenangan tentang bangsa Hebrew mungkin telah masuk ke dalam legenda Kaisar pertama Jepang, “Jinmu”.
Namun bagaimana dengan kebiasaan khitanan? Takatoshi Kobayashi, salah seorang putra Meiji-tennoh dan juga anggota keluarga Kerajaan Jepang, yang kini menjadi pastur Kristen, mengatakan bahwa kaisar dan pangeran Jepang dikhitan. Tapi, pengakuan ini adalah satu-satunya bukti, yang saya ketahui, bahwa kebiasaan khitanan eksis di Jepang.
Studi Golongan Darah
Prof. Tanemoto Furuhata, otoritas kedokteran forensik di Universitas Tokyo, menulis dalam bukunya bahwa golongan darah orang Jepang dan Yahudi sangat mirip, dan dirinya terkejut saat mengetahui hal ini. Saya juga mendengar seorang profesor asal Universitas Paris telah menemukan bahwa kromosom “Y” pada orang Jepang berukuran sama dengan orang Yahudi.
Tapi saya berharap banyak orang melakukan penelitian yang lebih dalam. Bukti yang meyakinkan, yang bisa membuktikan kepada semua orang bahwa Sepuluh Suku yang Hilang dahulu datang ke Jepang, belum ditemukan. Di bagian akhir, saya mengangkat rumor bahwa nama Tuhan pada cermin suci yang tersimpan di sebuah kuil Shinto Jepang, “Ise-jingu”, tertulis dalam bahasa Hebrew, sejak zaman kuno.
Rumor bahwa nama Tuhan pada cermin suci Ise tertulis dalam bahasa Hebrew
Di Imperial House of Japan, terdapat 3 harta berharga yang berasal dari mitos Jepang kuno. Ketiga benda tersebut adalah pedang, anting-anting permata, dan cermin. Di antara ketiga benda tersebut, cermin (yang disebut “Yata-no-kagami” (mirror of Yata/cermin Yata)) diletakkan di “Ise-jingu” yang merupakan kuil Shinto untuk Imperial House. Nyatanya, ada rumor bahwa nama Tuhan yang terdapat di bagian belakang cermin suci ini tertulis dalam bahasa Hebrew. Cermin ini dianggap sangat suci dan biasanya tak seorang pun yang diperbolehkan melihatnya. Namun ada beberapa orang yang bersikeras pernah melihatnya.
Kira-kira seratus tahun yang lalu, Arinori Mori, Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Jepang pada masa itu, bersikeras mengatakan bahwa ia pernah melihat bagian belakang cermin tersebut. Ia mengatakan bahwa pada bagian tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I AM” (Aku adalah Aku) dalam bahasa Hebrew, yaitu nama Tuhan yang berbicara kepada Musa (Eksodus 3:14).
Setelah Perang Dunia II, Dr. Sakon, seorang profesor dari Universitas Aoyama-gakuin, menyatakan bahwa dirinya telah melihat sebuah replika cermin yang ada di Imperial Palace. Ia menyatakan bahwa pada replika tersebut tertulis nama Tuhan “I AM THAT I AM” dalam bahasa Hebrew.
Konon, Yutaro Yano, pemeluk taat Shinto, melihat cermin itu dan mencatat pola bagian belakang cermin. Yano berulang kali bertanya pada seorang pendeta di Ise-jingu apakah dirinya boleh melihat cermin. Lalu sang pendeta merasa terharu atas keinginan Yano yang kuat, dan kemudian secara sembunyi-sembunyi mengizinkannya melihat cermin, selanjutnya Yano secara hati-hati menyalin pola bagian belakang cermin.
Salinan ini dijaga selama bertahun-tahun oleh sebuah kelompok Shinto bernama “Shinsei-Ryujinkai”, yang dipimpin oleh anak perempuan Yano. Benda tersebut terus dirahasiakan oleh kelompok ini. Tapi kemudian, mereka mengatakan bahwa ada “wahyu dari tuhan” untuk memperlihatkan salinan cermin tersebut kepada Yang Mulia Mikasanomiya-Nya, adik laki-laki Kaisar Hirohito (Showa Tennoh). Wadoh Kohsaka, seorang peneliti Shinto, memiliki peranan dalam penyerahan salinan itu kepada Mikasanomiya. Setelah itu, Kohsaka memutuskan untuk menunjukkan salinan itu kepada publik, melalui bukunya, karena ia berpikir penting bagi orang Jepang untuk mengetahuinya. Buku tersebut diterbitkan beberapa tahun lalu.
Ada 2 teori tentang bagaimana menterjemahkan huruf-huruf di cermin tersebut. Pertama, menterjemahkannya sebagai “Hifu-moji”, yang diyakini sebagai salah satu “Jindai-moji” (huruf Jepang yang dianggap telah eksis di Jepang kuno sebelum penulisan Kanji diimpor dari China). Kedua, menterjemahkannya sebagai Hebrew kuno. Teori “Hifu-moji” berasal dari Yano sendiri, tapi saya tidak mempercayai teori ini. Karena saya menemukan beberapa kontradiksi dalam penterjemahan yang dilakukan Yano. Dan tak ada yang tahu seperti apa bentuk Hifu-moji, jadi bagaimana bisa kita mengakuinya sebagai Hifu-moji? Selain itu, semua “Jindai-moji” kuno Jepang (yang dikenal) ditulis secara vertikal. Saya tidak pernah melihatnya tertulis secara horizontal.
Beberapa orang meyakini bahwa 7 huruf di bagian dalam lingakaran pusat cermin bisa dibaca sebagai “I AM THAT I AM” – dalam Hebrew adalah “eheyeh asher eheyeh”, eheyeh dibaca dua kali. Sementara yang lain meyakini bahwa 7 huruf tersebut bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light” (cahaya Yahweh) – dalam Hebrew adalah “or Yahweh” (or berarti cahaya). Jika bisa dibaca sebagai “Yahweh’s light”, maka ini bisa menjadi alasan mengapa dewa di Imperial House disebut “Amaterasu”, yang berarti dewa cahaya (god of light) atau dewa matahari (god of the sun). Dewa di Imperial House of Japan mungkin pada awalnya berasal dari God of the Bible, tapi kemudian keyakinan kepada-Nya bercampur dengan keyakinan pada “Amaterasu”. Orang-orang mulai memanggil dewa Imperial House, dengan sebutan “Amaterasu”, karena di cermin tersebut tertulis “Yahweh’s light” (Mazmur 36:9, 84:11).
Sedangkan mengenai huruf-huruf yang berada di luar lingkaran pusat, seseorang meyakini bahwa itu adalah tulisan Yunani kuno. Namun beberapa huruf di antaranya sama dengan yang ada di dalam lingkaran pusat. Jadi, saya pikir huruf-huruf yang ada di dalam maupun di luar lingkaran pusat berasal dari bahasa yang sama.
Saya pikir huruf-huruf ini juga terlihat seperti bahasa Aramaik, yang digunakan oleh Israel kuno. Jika ada pembaca (huruf-huruf ini) yang memiliki pemahaman yang berbeda, tolong beritahu saya. Kita tidak memiliki bukti bahwa salinan milik Yano benar-benar merupakan pola pada bagian belakang cermin. Ini tetap menjadi misteri. Saya harap hari dimana cermin tersebut dipertunjukkan segera datang.
sumber: http://worldwideword.wordpress.com/2010/02/09/suku-yahudi-yang-hilang-jepang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar